Update NTT – Moderasi kembali ditegaskan sebagai kunci utama dalam menjaga dan negara.
Pesan itu mengemuka dalam Studium General bertema “Relasi Moderat antara Agama dan Negara di Indonesia dalam Konteks Kekinian” yang digelar di ruang kuliah Masjid Istiqlal, Jumat (12/9/2025).
Acara ini diikuti mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) dan menghadirkan sejumlah narasumber.
Direktur PKUMI, Prof. Dr. K.H. Ahmad Thib Raya, M.A., dalam sambutannya menekankan bahwa moderasi bukan sekadar konsep, melainkan sikap hidup yang harus hadir dalam kehidupan berbangsa.
“Orang yang wawasannya luas akan lebih moderat. Sikap ini harus dibawa ke ranah bernegara,” ujarnya.
Sebagai moderator, Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., menguraikan perbandingan model relasi agama dan negara di dunia Islam: Turki pasca-Utsmani dengan kontrol negara atas Islam, Iran dengan Islam sebagai pengendali negara.
“Indonesia berbeda. Kita bukan republik Islam, bukan pula negara sekuler. Islam menjiwai republik ini, dan ulama berperan menjaganya,” jelasnya.
Sorotan utama datang dari Dr. Ahmad Munjid, dosen Studi Lintas Budaya UGM. Ia menegaskan pentingnya jarak kritis ulama dengan penguasa.
“Ketika ulama terlalu dekat dengan kekuasaan, agama berpotensi jadi alat legitimasi. Padahal ulama seharusnya menjadi suara kritik sosial,” katanya.
Munjid menegaskan, tauhid yang dibawa para nabi selalu menjadi amunisi kritik terhadap tirani politik, ketidakadilan ekonomi, dan dekadensi moral.
“Ulama harus berpegang pada dua hal: ke atas adalah warisan akhlak Nabi, ke bawah adalah kemaslahatan umat,” tambahnya.
Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab yang hangat. Benang merah yang muncul: moderasi bukan slogan, melainkan sikap hidup yang wajib dihidupi ulama dalam mengemban peran sosial dan kebangsaan.
Penulis: Mikael Risdiyanto Setyabudi