Daerah  

Benang Kusut Transaksi Tanah, Tuduhan Penipuan dan Saling Bantah Rp150 Juta

LABUAN BAJO – Di sebuah Kampung di pesisir Komodo, bernama Warloka terkisah tentang sepetak tanah yang menjadi polemik dan tak kunjung selesai hingga kini. Ada uang yang disebut berpindah tangan, ada dokumen tanah yang saling dipertanyakan, dan ada dua keluarga yang kini berhadapan dengan versi cerita yang berbeda. Pada satu sisi berdiri Ninong—warga yang mengaku dirugikan hingga Rp150 juta. Pada sisi lainnya, keluarga Fransiska Mian yang merasa tuduhan itu tak berdasar.

Di tengah kabut informasi yang simpang siur, kisah ini berubah menjadi labirin panjang yang menghubungkan pinjaman uang, janji pengembalian, akta jual beli, hingga dugaan manipulasi dokumen.

Menurut versi Ninong, semua bermula pada Mei–Juni 2021. Dua perempuan, S dan L, datang ke rumahnya dalam keadaan tertekan. Mereka memohon bantuan untuk biaya pengobatan suami S yang saat itu dikabarkan sakit.

https://updatentt.com/pasien-kepulauan-antusias-ikuti-operasi-katarak-gratis-di-siloam-labuan-bajo/

Merasa iba, Ninong mengeluarkan Rp30 juta. Janjinya sederhana, uang dikembalikan dalam satu minggu. Namun pekan itu berlalu begitu saja, tanpa kepastian.

Beberapa waktu kemudian, kedua perempuan itu kembali. Kali ini, mereka membawa tawaran: sebidang tanah di Warloka sebagai jaminan, lengkap dengan dokumen alas hak. Ninong, yang mengaku ingin memastikan keabsahan dokumen, melakukan pengecekan kepada warga setempat dan Kepala Desa. Informasi yang ia terima cukup membuatnya yakin: tanah itu disebut milik almarhum Yohanes Barongan, dan surat yang dibawa S dan L dianggap valid.

Jejak ke Notaris dan Uang yang Mengalir Berangsur

Dengan dokumen yang diyakini sah, Ninong melangkah ke kantor Notaris Silvi. Di sana dibuat surat jual beli bernilai Rp150 juta. Proses itu disaksikan oleh beberapa orang, termasuk ibu L.

Ninong menyatakan telah memberikan dana sekitar Rp120 juta secara bertahap sebagian tunai, sebagian tambahan setelah proses dokumen berjalan. Ia percaya transaksi itu akan tuntas begitu sertifikat diproses di Badan Pertanahan Nasional (BPN).

https://updatentt.com/diduga-gunakan-indetitas-palsu-oknum-kadis-pariwisata-taput-tipu-wanita-untuk-dinikahi/

Namun semuanya terhenti tiba-tiba. Seorang pihak bernama Jafar yang disebut memiliki hubungan dengan tanah tersebut tidak memberikan tanda tangan. Dari situ, cerita mulai berubah. Menurut Ninong, keluarga S dan L mulai sulit ditemui. Penjelasan tak lagi diberikan.

Tawaran Jaminan Baru dan Kebingungan Kian Dalam

Yang membuat Ninong semakin bingung, sejumlah anggota keluarga dari S dan L justru menyanggah kepemilikan tanah tersebut. Bahkan pernah muncul tawaran pengembalian uang dengan jaminan sebidang tanah lain di daerah Zombie. Akan tetapi, tawaran itu tidak pernah benar-benar terealisasi.

Untuk mencari kejelasan, Ninong mendatangi Kepala Desa yang mengeluarkan surat tanah pada 2018. Menurut pengakuan Ninong, Kepala Desa mengatakan ia menerbitkan surat itu karena keluarga S dan L mengklaim dokumen tanah lama dari tahun 1982 telah terbakar.

Kini, Ninong memberi batas waktu. Jika uang Rp150 juta tak dikembalikan, ia berencana membuat laporan resmi ke polisi.

“Saya hanya minta kejelasan. Kalau uang saya dikembalikan, selesai. Tapi kalau tidak, saya tempuh jalur hukum,” ujarnya.

Keluarga Terlapor Membantah: “Tidak Pernah Ada Rp150 Juta”

Sementara itu, di rumah yang berbeda, keluarga Fransiska Mian punya cerita lain. Bagi mereka, angka Rp150 juta adalah sesuatu yang mereka sebut “berlebihan dan tak pernah terjadi”.

https://updatentt.com/mengenal-liang-bua-gua-legendaris-yang-menyimpan-jejak-sejarah-manusia-purba-di-manggarai/

Maria Aprilia, putri Fransiska, mengakui bahwa ia dan ibunya memang pernah datang ke rumah Ninong pada Agustus 2021. Namun kedatangan itu untuk meminjam uang, bukan untuk menerima pembayaran jual beli tanah dengan nominal besar.

Menurut Maria, dari seluruh transaksi dengan Ninong, mereka hanya menerima Rp47 juta. Pemberian pertama Rp7 juta, sisanya diberikan dalam beberapa tahap tanpa adanya kuitansi.

“Total yang kami terima hanya Rp47 juta. Tidak pernah ada uang mendekati Rp150 juta,” tegasnya.

Ia juga membenarkan bahwa alas hak tanah pernah mereka serahkan, tetapi hal tersebut disampaikannya sebagai bagian dari proses yang mereka pahami saat itu, bukan sebagai bukti pembayaran senilai ratusan juta.

Ibunya, Fransiska, memperkuat pernyataan putrinya.

“Saya tidak pernah menerima uang sebesar itu. Tidak benar yang dia bilang,” katanya.

Kejanggalan di Kantor Notaris

Maria mengungkapkan lebih jauh bahwa ada beberapa hal yang menurut mereka janggal ketika dokumen ditandatangani di hadapan notaris. Ia mengatakan dokumen itu tidak dibacakan, tidak ada saksi dari pihak keluarga, dan mereka tidak pernah menerima salinan kembali.

Keluarga mengaku merasa diarahkan dalam proses itu, sementara dana yang diterima pun tidak pernah dihitung secara terbuka di hadapan keluarga. Kondisi Fransiska yang sudah lanjut usia menjadi alasan utama mengapa mereka tidak bisa mengawal detail transaksi dengan saksama.

“Kami menduga ada permainan dalam isi surat itu. Semua diarahkan sepihak oleh Ninong,” ujar Maria.

Mereka berharap ada keseimbangan informasi informasi sesuai dengan situasi sebenarnya.

Kini kedua pihak terjebak dalam versi masing-masing. Ninong menuntut pengembalian Rp150 juta dan membuka kemungkinan langkah hukum. Sementara keluarga Fransiska menegaskan bahwa angka itu tidak pernah mereka terima dan bahwa mereka pun merasa dirugikan oleh proses yang mereka anggap tidak transparan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *